Thursday, 19 March 2020

Martir Pertama Asal Toraja YOSEP TAPPI’

Seorang Martir Pertama Asal Toraja 

YOSEP TAPPI’




SeorangMartir Pertama Asal Toraja YOSEP TAPPI’


Sebuah Keadaan yang harus di hadapi pada saat itu, Mendekati hari eksekusi, pengawal menanyakan apakah kalian sudah siap menghadapi eksekusi jika tidak mau mengubah iman kalian. Mereka menjawab, “Meskipun badan kami masih di sini, tetapi jiwa sudah bersama KRISTUS, di atas!”. Leher Pdt. Joesoef Tappi langsung di tebas dengan samurai. Ia mati mempertahankan keyakinannya Sebagai Pengikut Kristus yang sejati.
Joesoef Tappi’ yang sering di kenal dengan nama J. Tappi’ adalah salah satu pendeta Gereja Toraja yang mati syahid (martir) dalam masa tugasnya. Di lahirkan pada tahun 1903 di Bonggakaradeng, ia pernah berjumpa dengan A.A. Van de Loosdrecht misionaris pertama yang datang ke Toraja ketika mengunjungi sekolah pada Agustus 1915. Tentu hal itu menjadi inspirasi positif dalam pelayanan selanjutnya yang ia geluti Semasa Pelayanannya.
Di Semba, Buakayu, Kabupaten Tana Toraja, Indischekerk membangun sebuah sekolah yang kemudian diserahkan kepada Zending Gereformeerde Zendingsbond (GZB) dari Belanda untuk dikelolah. Di sekolah itu Joesoef Tappi’ belajar. Ayahnya bernama Ne’ Mane’, adalah seorang To minaa (pemimpin spiritual agama leluhur Toraja), Ayahnya sendiri juga yang mengantarnya untuk mengikuti Pendidikan di GZB, sebagai bukti bahwa orang tuanya sangat mendukung pendidikan dan perubahan.
Joesoef Tappi’ kemudian dikenal sebagai guru Injil, dan guru jemaat GZB berkebangsaan Indonesia yang bekerja di medan pekabaran injil GZB. Ia adalah ahli bahasa To minaa, bahasa sastra tinggi dalam bahasa Toraja. Diangkat menjadi guru pada 1923, mula-mula ia ditempatkan di Simbuang, di pedalaman Toraja, sebelum pindah ke Semba, tempatnya mendapat pendidikan pertama. Dari Semba, ia pindah ke Rembon, Kasimpo.
Joesoef Tappi’ diangkat menjadi guru Injil pada 1928. Sebagai anak seorang pemimpin spiritual, sejak kecil ia sudah memahami adat dan budaya Toraja. Sejak kecil pula ia dikenal baik oleh zending. Hal itulah yang mungkin menjadi alasan kuat bagi GZB untuk mengangkatnya menjadi guru Injil yang ditempatkan di Pantilang, daerah yang amat bergumul soal adat dan budaya dalam kaitan dengan iman Kristen.
Pada 1930, atas permintaannya sendiri, ia dipindahkan ke Rembon. Kemampuannya sebagai seorang yang banyak memahami adat dan budaya Toraja, sangat membantu ketika diangkat menjadi sekretaris (notulensi) dalam bahasa Toraja, pada berbagai pertemuan membicarakan mengenai aluk, adat, dan Injil pada tanggal 5-6 September 1928 di Angin-angin, yang diikuti para zending dan tokoh-tokoh adat Toraja waktu itu.

MENJADI PENDETA

Dalam kondisi yang cukup sulit waktu itu, Pdt. D.J. Van Dijk meminta jawaban secara tertulis kesediaannya untuk diurapi menjadi pendeta. Joesoef Tappi’ tidak segera memberi jawaban yang pasti. Dalam suratnya tertanggal 01 Mei 1941 menuliskan bahwa ia tidak mau terburu-buru menerima jabatan itu, apalagi dalam menjalankan kedua sakramen dan dalam menyebut nama Tuhan. “Tetapi mengingat salib Kristus untuk dosa saya, maka saya memberanikan diri berdiri di depan jemaat, bukan dari diri saya tetapi dari Tuhan yang telah datang ke dalam dunia sebagai raja. Sambil juga mengingat tentang apa yang berlaku bagi Paulus, yaitu ‘Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan’.”
Berdasarkan surat jawaban itu, pada 26 Oktober 1941, Joesoef Tappi’, S.T. Lande, dan P. Sangka Palisungan, ditahbiskan menjadi pendeta di Jemaat Rantepao oleh Pdt. D.J. Van Dijk. Pdt. Joesoef Tappi’ kemudian ditempatkan di Resort Makale-Sangalla’.

MENGAMBIL ALIH KEPEMIMPINAN

Dalam masa pendudukan tentara Jepang, para Zending dari Belanda ditawan dan ditahan oleh tentara Jepang, untuk melanjutkan misi pelayanan dan siar agama Kristen di wilayah Toraja, GZB menyerahkankan kepemimpinan kepada pendeta pribumi. Dalam kondisi demikian, para pendeta yang diurapi oleh Zending membentuk “Koempoelan Pendeta-Pendeta”. Dalam kepengurusan, Pdt. S.T. Lande bertindak sebagai ketua, Pdt. Joesoef Tappi’ menjadi sekretaris, Pdt. P. Sangka Palisungan menjabat bendahara, dan Pdt. J. Soemboeng serta F. Ba’siang menjadi komisaris. Mereka melanjutkan pelayanan yang selama ini dilakukan oleh GZB.
Dalam masa pendudukan Jepang itu, Pdt. Joesoef Tappi’ dipindahkan ke Masamba. Di Masamba bersama-sama seorang Kepala Polisi yang bernama WR Papayungan dan juga Banne yang bertugas sebagai mantra kehutanan. Mereka mendirikan gedung Gereja disana yang terbuat dari kayu.

MATI SYAHID

Dalam sejarah pekabaran Injil Toraja, pendeta pribumi yang mati syahid pertama adalah Pdt. Joesoef Tappi. Ketika Jepang kalah oleh tentara sekutu terjadilah peristiwa yang luar biasa bagi pekabaran injil di pulau Sulawesi. Pdt. Tappi’ diambil dari rumahnya, lalui dibawa ke Kota Masamba. Kemudian ia dibawa ke tempat tahanan di Kampung Tareo bersama sekitar 40 orang Kristen lainnya. Mereka disekap di dalam lubang perlindungan yang dibuat tentara Jepang. Dalam keadaan seperti itu, setiap hari mereka tak pernah lupa bernyanyi-nyanyi dan berdoa, bahkan terkadang melaksanakan kebaktian rohani. Mendekati hari eksekusi, pengawal menanyakan apakah mereka sudah siap menghadapi eksekusi jika tidak mau mengubah imannya. Mereka menjawab, “Meskipun badan kami masih di sini, tetapi jiwa sudah bersama Kristus, di atas!.”
Eksekusi dilangsungkan di suatu bukit. Algojo menebas tahanan satu persatu dengan samurai. Sejak peristiwa itu, keluarga dan anak-anak serta orang Kristen lainnya termasuk guru injil Baso’ diminta mengungsi masuk ke dalam hutan karena ada informasi bahwa mereka semua akan di habisi. Namun, pertolongan Tuhan datang. Pada pagi hari petugas keamanan di bawah pimpinan Sersan S. Patioran datang menjemput Keluarga Baso dan Keluarga Pdt. Joesoef Tappi’ atas petunjuk dan laporan dari seorang bekas anak asuh guru Injil Baso. Mereka dibawa ke Kota Masamba dan dikembalikan ke Tana Toraja.
Pdt. Joesoef Tappi yang terbunuh pada Januari 1946 di Mariri, Masamba, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, tercatat sebagai pendeta Toraja pertama yang mati syahid. Jenazahnya dikenali dari cincin nikah yang dipakainya. Jenazah kemudian diambil keluarga dari Buakayu dan kemudian dikuburkan di Sawa, Buakayu, di tempat kelahirannya.
Yang lebih meyakinkan adalah dengan cari uji darah khas Toraja. Saudaranya yang datang menjemput tulang belulangnya, kemudian meneteskan darahnya ke tulang itu, dan darah itu bereaksi dengan tulang tersebut. Rupanya begitulah caranya masyarakat Toraja zaman dahulu kalau untuk mengetes DNA seseorang.

MENJADI INSPIRASI

Pdt. Joesef Tappi layak menjadi inspirasi karena telah mengajarkan arti pengorbaan yang sesungguhnya. Dalam kondisi apapun, meskipun nyawa menjadi taruhannya, Joesoef Tappi bersikukuh terhadap keyakinannya. Ia telah mengajarkan arti sebuah pengorbanan. Seorang yang tidak pernah takut terhadap keyakinan dan berpendirian teguh pada kebenaran.

Sumber : Dihimpun dari berbagai sumber dan Buku Menjawab Panggilan (A.J Anggui Dkk)


Jangan Pernah Berhenti Untuk Belajar…
Tetaplah bersama membangun sesame dan saling mengingatkan…
Jika Anda Merasa terbebani…. Teruslah Berbagi dengan membagikan Cerita ini Ke Semua sahabat anda….
Share dan Klik Link situsnya…..

Seorang Martir Pertama Asal Toraja YOSEP TAPPI’